BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd. Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper. [1]
Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping untuk Korea-Certain Paper Products. Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi.
Dengan melihat latar belakang masalah tersebut, penulis bermaksud untuk mengkaji tentang apakah sebenarnya dumping dan bagaimana dumping bisa terjadi disuatu Negara dalam karya ilmiah yang berbentuk makalah yang berjudul “DUMPING DALAM KONTEKS HUKUM DAGANG INTERNASIONAL”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasar uraian dalam latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut :
1. Apakah sebenarnya dumping itu?
2. Apakah motif dan dampak dilakukannya dumping pada suatu Negara?
3. Mengapa praktik dumping masih terjadi?
1.3. Tujuan Penulisan
Agar dalam penulisan makalah ini dapat memperoleh suatu saran yang jelas dan tepat, maka perlu ditetapkan suatu tujuan penulisan. Dalam hal ini ditetapkan 2 (dua) tujuan penulisan, yaitu :
1.3.1. Tujuan Umum
· Untuk memenuhi serta melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Dagang Internasional.
1.3.2. Tujuan Khusus
· Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai salah satu materi perkuliahan Hukum Dagang Internasional yaitu mengenai dumping.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Dumping
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.[2]
Menurut Robert Willig, terdapat lima tipe dumping jika ditinjau berdasarkan tujuan eksporir, kekuatan pasar dan struktur pasar impor, sebagai berikut :
a. Market Ekspansion Dumping, yaitu perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
b. Cyclical Dumping, yaitu motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang sangat rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
c. State Trading Dumping, yaitu latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.
d. Strategic Dumping, yaitu menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor.
e. Predatory Dumping, yaitu istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.
2.2. Motif dan Dampak Dilakukannya Dumping
Dumping merupakan salah satu dari strategi dalam merebut persaingan pasar luar negeri yaitu dengan cara diskriminasi harga. Diskriminasi harga, menurut Ida Bagus Wyasa Putra, ada tiga alasan yaitu pertama, untuk mengembangkan pasar, dengan cara memberikan insentif melalui pemberlakukan harga yang lebih rendah kepada pembeli pasar yang dituju. Kedua, adanya peluang, pada kondisi pasar yang memungkinkan penentuan harga secara lebih leluasa, baik di dalam pasar ekspor maupun impor. Ketiga, untuk mempersiapkan kesempatan bersaing dan pertumbuhan jangka panjang yang lebih baik dengan cara memanfaatkan strategi penetapan harga yang lebih baik dan progresif.
Umumnya motif suatu negara pengekspor yang melakukan dumping adalah merebut pangsa pasar bagi produknya di negara-negara tujuan ekspor. Ketika harga barang yang diekspor lebih rendah dari harga barang yang sama di negara tujuan ekspor maka tentunya ini akan menguntungkan negara pengeskpor karena secara rasional produknya akan digemari di negara luar negeri dan ini akan memberikan multiplier yang positif dan besar bagi perekonomian negara pengekspor.
Namun praktek dumping merupakan praktek perdagangan yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri. Dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang di dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.[3] Karena dampak negatif tersebut, maka dibutuhkan aturan dan pembatas serta pengendali terhadap praktek dumping tersebut. Aturan mengenai larangan dumping (peraturan anti dumping) bertujuan memberikan proteksi terhadap industri dalam negeri dari praktek dumping yang diduga dilakukan ekportir atau produsen luar negeri.
Praktek dumping dapat dikenakan tindakan anti dumping bila merugikan industri atau produsen negara pengimpor.[4] Hukuman bagi negara yang terbukti melakukan praktek dumping dan merugikan industri atau produsen dalam negeri akan dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar marjin dumping (selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir) yang ditemukan, guna mengeliminir kerugian dari barang dumping sehingga industri dalam negeri tetap terlindungi dan dapat tetap bersaing dengan barang impor.[5]
Pengenaan BMAD tentunya melalui beberapa tahap proses penyelidikan. Ketika lembaga pemerintahan (komite anti dumping) yang terkait menerima laporan dari produsen bahwa terdapat dumping atas barang yang diimpor tersebut maka komite tersebut barulah bisa memulai proses penyelidikan praktek dumping negara pengekspor tersebut. Untuk mencegah kerugian selama melakukan penyelidikan, komite dapat mengusulkan kepada departemen terkait untuk melakukan tindakan sementara seperti tindakan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Imbalan Sementara (BMADS).
Pengenaan BMADS ditetapkan oleh menteri keuangan berupa pembayaran jaminan dalam bentuk uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari perusahaan asuransi paling besar sama dengan BMAD. Selama proses penyelidikan dan terbukti negara pengeskpor melakukan praktek dumping maka pengekspor atau negara pengekspor harus melakukan tindakan penyesuaian berupa penyesuaian harga atau penghentian ekspor barang tersebut, atau lainnya. Tujuan dari tindakan penyesuaian tersebut adalah untuk menghilangkan kerugian industri di negara pengimpor. Namun jika negara pengekspor terbukti melakukan dumping dan tidak melakukan penyesuaian harga dari produsen negara pengekspor, maka BMAD akan dikenakan sebesar marjin dumping terhadap barang tersebut.[6]
2.3. Terjadinya Praktik Dumping
Ada beberapa pendapat kenapa praktek dumping masih terjadi meskipun saat ini dibanyak negara telah memiliki Undang-Undang Anti Dumping. Ketika suatu negara memutuskan untuk menjual produknya ke luar negeri (lebih dari satu negara) lebih murah dari di dalam negeri, maka:
· Ketika negara tujuan ekspor tidak memproduksi barang yang sejenis dan tidak juga terdapat barang yang sama dari negara lain maka kehadiran barang dumping tidaklah menjadi masalah baik bagi produsen atau industri negara tersebut dan juga bagi masyarakatnya. Jika kondisi ini terjadi maka praktek dumping dapat terus berjalan di negara tersebut.
· Ketika negara pengimpor tidak memiliki industri atau produsen barang yang sejenis dengan barang dumping dari negara A, namun di negara tersebut terdapat barang impor dari negara B yang sama, maka pada saat barang dumping tersebut diperkenalkan kepada masyarakat suatu negara melalui media promosi, tentunya tingkat penjualan barang tersebut akan meningkat karena ini sangat menguntungkan masyarakat tersebut. Mereka dapat konsumsi dengan harga yang lebih murah dan akan cepat mengalihkan konsumsi ke barang tersebut (besarnya terkait dengan elastisitas permintaan barang tersebut) . Ketika fungsi permintaan akan barang tersebut sangat elastis maka pada saat masuknya barang impor sejenis dengan harga yang lebih murah maka konsumen akan beralih pada barang yang lebih murah sehingga negara A akan untungkan dan negara B akan dirugikan. Melihat kondisi ini negara B akan melaporkan terjadi praktek dumping negara A ke departemen terkait di negara tersebut. Penyelidikan praktek dumping ini memerlukan waktu untuk membuktikannya, namun barang dumping tersebut masih boleh beredar di masyarakat sehingga ini membentuk citra barang tersebut dalam pola konsumsi masyarakat. Ketika terbukti negara A melakukan praktek dumping maka barang dumping tersebut terkena bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar marjin dumping. Ini membuat barang tersebut indiferen dengan barang dari negara B. Karena citra barang tersebut sudah melekat dalam pola konsumsi masyarakat walaupun harganya akan sama, maka barang dumping tersebut tetap laku di negara tujuan ekspor. Bagi negara A (dumping) kondisi ini tetap menguntungkan baik sebelum maupun sesudah dikenakan BMAD, karena barangnya tetap diminati, sehingga praktek dumping akan tetap dilakukan. Keuntungan ini akan dapat diperoleh bahkan dapat meningkat ketika kualitas barang dumping lebih baik dari barang lainnya. Hal yang sama juga terjadi ketika di negara tujuan ekspor memiliki industri atau produsen barang sejenis dengan barang dumping.
· Ketika terdapat industri sejenis di negara pengimpor dan juga terdapat barang impor yang sama dari negara B dan hadirnya barang dumping oleh negara A tidak merugikan industri negara tersebut dan negara B maka produk dumping masih boleh diedarkan di negara tersebut.[7]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa praktek dumping sampai saat ini masih terus berlangsung karena tidak terdapat aturan yang benar-benar melarang (tidak memperbolehkan) praktek tersebut. Undang-Undang anti dumping hanya memuat pengenaan bea masuk anti dumping jika terbukti negara tersebut melakukan praktek dumping. Pengenaan BMAD ini tentunya setelah melalui proses penyelidikan dan terbukti adanya barang dumping tersebut merugikan industri atau produsen dalam negeri dan negara pengekspor lain.
Dengan tidak adanya UU yang melarang praktek dumping, kondisi ini akan menguntungkan negara atau produsen yang melakukan praktek dumping. Keuntungan yang diperoleh negara pengekspor tersebut mulai dari barang tersebut diperkenalkan, proses penyelidikan dugaan melakukan praktek dumping, dan ketika sudah ditetapkan melakukan praktek dumping. Selain itu pada saat negara pengekspor tersebut terbukti melakukan praktek dumping maka terhadap barang dumping tersebut dikenakan BMAD sebesar marjin dumping tersebut sehingga harga barang dumping dengan barang sejenis lainnya menjadi sama. Namun karena barang dumping telah dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat maka pilihan masyarakat mungkin akan berubah sedikit namun barang dumping tersebut akan tetap laku.
Jadi suatu negara tetap akan melakukan praktek dumping karena selain tidak adanya UU yang benar-benar melarang praktek dumping (proteksi terhadap produk lokal) tersebut juga pengenaan BMAD sebesar marjin dumping tetap menguntungkan bagi negara pelaku dumping. Kondisi inilah yang membuat suatu negara tetap akan melakukan praktek dumping.
3.2. Saran
Aturan mengenai larangan dumping (peraturan anti dumping) bertujuan memberikan proteksi terhadap industri dalam negeri dari praktek dumping yang diduga dilakukan ekportir atau produsen luar negeri. Praktek dumping tentulah merugikan bagi pihak pengimpor, dengan suatu peraturan yang seharusnya benar diterapkan sebagaimana fungsinya untuk mengatasi adanya praktek dumping dalam hubungan perdagangan internasional. Peraturan yang ada seharusnya lebih mengedepankan atas sanksi-sanksi yang berat agar menimbulkan efek jera bagi para pelaku dumping.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
· Gayatri, A., dan Femita, A., 2008.”Tuduhan Praktek Dumping Yang Dilakukan Indonesia” Universitas Padjajaran, Bandung.
· Komite Anti Dumping Indonesia.”Dumping”.
· Miljani, H., 2008.”Implementasi Kebijakan Anti Dumping dan Subsidi Serta Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha” Forum Studi Bisnis FH Universitas Airlangga, Surabaya.
· Suryana, D., 2006. “Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia”
Internet :
[1] Gayatri, A., dan Femita, A., 2008.”Tuduhan Praktek Dumping Yang Dilakukan Indonesia” Universitas Padjajaran, Bandung
[3] Komite Anti Dumping Indonesia.”Dumping”
[4] Miljani, H., 2008. Forum Studi Bisnis FH Universitas Airlangga, Surabaya
[5] Suryana, D., 2006. “Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar